
HOV’S News – Terpilihnya sosok Porsche 356 Roadster menjadi salah satu ikon koleksi House of Volkswagen Sentul (HOV’S) pastinya mengandung cerita tersendiri cukup unik. Dimulai dari obsesi seorang R. Adi Yunadi Endjun yang ingin memiliki sebuah Porsche lawas untuk menemani sejumlah koleksi Volkswagen klasik yang sudah dimilikinya, juga sekaligus ingin menjadikannya sebagai salah satu mobil ikon HOV’S yang pastinya akan tampil beda.
“Iya benar, Porsche lawas yang diambil Pak Adi ini merupakan Porsche 356 tipe Roadster yang sudah kami buat sekitar 6 bulan lalu. Unit ini sebenarnya sebagai stok display di workshop Tuksedo Studio. Jadi rencananya akan diplot sebagai sosok unit penjualan atau semacam display di showroom dealer mobil baru,” ungkap Pudji Handoko, owner sekaligus founder Tuksedo Studio Bali.
Selanjutnya, Pudji menjelaskan latar belakang mengapa Tuksedo Studio di awalnya memfokuskan diri pada pembangunan kembali (re-creation) mobil klasik dengan model pertama Porsche 356. Menurutnya, Porsche 356 merupakan salah satu mobil klasik idaman yang layak dijadikan koleksi.
Porsche 356 merupakan buah karya fenomenal dari perwujudan sebuah cita-cita seorang Ferdinand Porsche. “Setelah sukses membuat VW Beetle untuk kebutuhan rakyat Jerman dan perang, Ferdinand lalu mewujudkan cita-citanya yakni membuat mobil sport,” jelas Pudji.
“Sebenarnya cita-cita awal Ferdinand Porsche itu membuat mobil sport. Namun tidak segera kesampaian karena ada tugas khusus dari Hitler atau pemerintah Jerman saat itu untuk membuat kendaraan yang bisa dipakai banyak orang. Begitu selesai tugasnya, Ferdinand Porsche akhirnya kembali fokus untuk membuat mobil sport. “Nah mobil sport pertama yang diciptakan Ferdinand adalah Porsche 356,” papar Pudji.
Ferdinand Porsche yang ikut terlibat mendesain ‘kendaraan rakyat’ yang populis; Volkswagen Beetle, akhirnya mengadopsi sasis dan mesin yang sama dengan model VW legendaris itu sebagai basis membuat mobil sport-coupe 2 -pintu yang akan diproykesikan menembus pasar Amerika dan Eropa sendiri.
Ditambahkan Pudji, Porsche 356 yang pertama kali dibuat Ferdinand itu masih usung format rear mid-engine. “Mesinnya di belakang namun posisinya cenderung di tengah. Model ini hanya dibuat satu dan bersifat prototype. Selanjutnya saat produksi kedua, posisi mesin digeser lebih ke belakang, mirip seperti VW. Tujuannya, mengejar kabin lebih lega, proporsional, dan adaptif bila dipakai banyak orang,” jelas Pudji.
Guna mempermudah produksi, Ferdinand juga menempatkan hasil riset VW untuk kendaraan penumpang menjadi ‘basic platform’ Porsche 356 ini dengan beberapa penyesuaian. “Utamanya di sektor sasis yang mirip VW Beetle, girboks hingga mesin boxer 4-silinder aircooled dengan beberapa penyesuaian oleh Ferdinand tentunya, agar sesuai karakter 356 yang menyasar segmen sport,” lanjut Pudji.
Dilanjutkan Pudji, ketika 356 masuk produksi massal, tipe 356 pertama yang dikeluarkan adalah 356 ‘Coupe’ yang disambut sukses publik. Sampai akhirnya Ferdinand mendapat prospek pesanan dari pasar Amerika. Untuk mengambil pasar Amerika sekaligus menguatkan karakter Porsche 356 di penyuka otomotif Amerika, Ferdinand akhirnya menetapkan Porsche 356 Speedster jadi model unggulan mengisi pasar Amerika.
Jadi, Porsche 356 Speedster lebih diproyeksikan untuk pasar anak muda Amerika yang menyukai kecepatan, bentuk simple, non-hardtop, lightweighted, dan minim aksesori. “Karenanya versi Speedster bisa dibilang jauh lebih sederhana tampilannya. Untuk proses re-creation-nya juga jauh lebih mudah dibanding versi Roadster,” imbuh Pudji.
Sementara melihat selera pasar Eropa yang sedikit berbeda dengan Amerika, Ferdinand menetapkan varian lain yakni 356 Roadster. Menurut Pudji, Porsche 356 Roadster yang lebih diproyeksikan untuk pasar Eropa ini, merupakan versi 356 yang lebih ke seri ‘Luxury’-nya. “Kalau Speedster itu model simpel sekali. Lebih mengikuti agen importir di Amerika untuk mobil produksi non-Amerika.”
Lalu, mengapa publik Amerika lebih menyukai 356 Speedster? Begini awal mula ceritanya. Adalah agen importir kendaraan terbesar di Amerika saat itu yakni Hoffman Motor Company (HMC) yang berdiri pada tahun 1947. HMC hadir sebagai agen importir berbagai merek mobil Eropa yang ingin merasakan ceruk pasar otomotif di Amerika Serikat.
HMC yang selanjutnya sering disebut sebagai Hoffman, didirikan oleh Max Hoffman. Selama kiprahnya, HMC inilah yang berikutnya fokus memasukkan mobil sport legendaris dari Jerman dan Inggris. Dalam pengoperasiannya, Max Hoffman bekerja sama dengan pengemudi dan dealer mobil balap terkenal, John von Neumann.
“Hoffman ini dulu memang terkenal dan terbesar sebagai agen penyalur mobil-mobil sport bikinan Eropa ke Amerika. Selain Porsche, mereka juga mendatangkan mobil sport produksi Mercedes-Benz, hingga Jaguar. “Saking besar pengaruhnya, agen importir Hoffman ini sampai mampu mengendalikan keputusan pihak pabrikan pembuatnya. Seperti terjadi pada Porsche ketika harus menyesuaikan diri dan akhirnya khusus membuat Speedster untuk pasar Amerika,” jelas Pudji.
Memang, pertama kali Porsche mengirim 356 tipe Roadster ke Amerika. 356 Roadster ini merupakan versi terlengkap versi convertible (soft-top). Varian Roadster karena versi Luxury-nya akhirnya dilengkapi jendela samping, ada mekanisme kaca jendela turun-naik, lalu meskipun soft-top namun sudah ada sealing-nya untuk pencegah kebocoran, dan sebagainya. Ini yang bikin harga jualnya jadi mahal di Amerika.
“Lalu dengan pengalaman dan ‘power-nya yang menguasai segmen pasar kendaraan sport dan mewah di Amerika, Hoffman pun memberi masukan ke Porsche. Bahwa untuk pasar Amerika, coba kamu (Porsche) bikin seri sejenis namun dengan harga lebih murah atau terjangkau. Sebuah seri yang bisa dipakai lebih banyak orang, lebih ringan performa dan tampilannya, bisa jadi andalan kaum muda sebagai eksistensinya saat jalan-jalan akhir pekan bahkan balapan, kaca depannya bisa dilepas, inilah Speedster yang bisa akomodir itu semua,” tutur Pudji.
Bahkan sampai namanya pun yang dipilih, yakni ‘Speedster’ juga sebagai efek dari pencitraan ulang 356 yang sesuai karakter pasar Amerika yang lebih menyenangi performa, simplisitas, sporty, dan ringan diajak kemana saja. “Nah yang dipesan mas Adi itu, varian Roadster yang lebih lengkap dan lebih mewahnya. Pengerjaannya pun lebih eksklusif dan detail. Karena lebih banyak item parts bodi dan aksesori yang harus dibuat mirip aslinya,” beber Pudji.
Salah satu contohnya seperti, pembuatan kaca jendela pintu yang bisa dinaikturunkan dan dipadu dengan atap convertible-nya. “Pembuatan rangka convertible-nya sendiri tak mudah. Butuh presisi tinggi agar klop dengan nad bodi dan frame pintu. Juga, saat kap ditutup mirip sesuai aslinya. Tidak ada kebocoran saat hujan, dan ketat kain kanvasnya, tidak kendor seperti yang sering kita lihat,” lanjut Pudji.
Pemilihan warna British Racing Green yang dipadu terpal kanvas berkelir coklat khaki memang sepadan dan sesuai detail di masa produksinya. Begitu pula sentuhan interior dengan trimming senada warna atap cabriolet-nya menambah akses elegan sekaligus tetap sporty.
Terlebih penyematan bahan fabric motif kotak Tartan yang biasa dipakai pada Kombi Camper Westfalia. Motif dan warna kain pelapis jok dan trim Tartan ini mirip Kilt, yaitu pakaian tradisional berbentuk rok yang dipakai pria Gaelik di dataran tinggi Skotlandia.
dia akhirnya